Meningkatkan Kualitas Peraturan Daerah Melalui Legislative Drafting yang Profesional

Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) memiliki peran strategis dalam menjalankan otonomi daerah yang efektif. Namun, banyak daerah masih menghadapi tantangan serius dalam menghasilkan perda yang berkualitas, selaras dengan hukum nasional, dan dapat diimplementasikan tanpa menimbulkan konflik kebijakan.
Masalah paling sering muncul adalah lemahnya kemampuan legislative drafting yakni teknik penyusunan peraturan yang sistematis, logis, dan taat asas hukum. Celah dalam drafting menyebabkan Perda mudah dibatalkan oleh pemerintah pusat, multitafsir, atau tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan, setiap tahun puluhan perda dibatalkan karena tidak sinkron dengan peraturan lebih tinggi atau berpotensi menghambat investasi. Ini menjadi sinyal bahwa kualitas legislative drafting di daerah perlu mendapat perhatian serius.
Dalam konteks otonomi daerah, peraturan yang buruk tidak hanya menimbulkan tumpang tindih kebijakan, tetapi juga menurunkan kredibilitas pemerintah daerah di mata publik dan investor. Karena itu, pemahaman mendalam tentang legislative drafting bukan lagi pilihan—tetapi kebutuhan mendesak untuk memastikan kebijakan daerah dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.
Prinsip Legislative Drafting dalam Konteks Daerah
Legislative drafting adalah seni dan ilmu menyusun peraturan perundang-undangan secara terstruktur, logis, dan konsisten dengan sistem hukum nasional. Dalam konteks daerah, prinsip ini menekankan keseimbangan antara kebutuhan lokal dan keselarasan dengan norma hukum nasional.
Ada beberapa prinsip utama legislative drafting yang harus diterapkan oleh penyusun perda:
1. Konsistensi Hierarki Hukum
Setiap Perda harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kesalahan dalam memahami hierarki sering menjadi penyebab pembatalan Perda. Misalnya, Perda yang mengatur pajak daerah harus mengacu pada UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta tidak boleh melampaui batas yang ditentukan.
2. Kejelasan Rumusan
Bahasa hukum harus tepat, lugas, dan tidak multitafsir. Kejelasan ini tidak hanya membantu aparat pelaksana, tetapi juga masyarakat sebagai pihak yang diatur. Sebuah perda yang memiliki kalimat ambigu dapat menimbulkan perbedaan tafsir antarinstansi dan memicu sengketa.
3. Keterkaitan dengan Kebutuhan Daerah
Perda idealnya disusun berdasarkan analisis kebutuhan nyata masyarakat daerah. Drafting yang baik harus dimulai dari hasil riset sosial-ekonomi, konsultasi publik, serta masukan dari pihak-pihak terdampak.
4. Konsistensi Terminologi
Sering kali, Perda menggunakan istilah yang berbeda dengan peraturan nasional. Ini menimbulkan kebingungan dalam implementasi. Legislative drafting mengajarkan pentingnya keseragaman istilah dan konsep agar tidak terjadi konflik norma.
5. Keterpaduan Antar-Regulasi
Peraturan di tingkat daerah tidak boleh berdiri sendiri. Drafting yang baik harus memperhatikan hubungan antarperaturan, misalnya antara Perda, Peraturan Bupati/Wali Kota, dan Peraturan Gubernur. Harmonisasi ini mencegah terjadinya tumpang tindih kebijakan.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kualitas Perda tidak hanya meningkat, tetapi juga memberikan dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan daerah.
Studi Kasus Penerapan Perda Efektif
Untuk memahami bagaimana legislative drafting yang baik berperan nyata, kita bisa melihat beberapa contoh daerah yang berhasil menerapkan Perda efektif berkat pendekatan drafting profesional.
1. Kota Surabaya – Perda Pengelolaan Sampah
Surabaya menjadi contoh sukses bagaimana penyusunan perda berbasis data dapat menciptakan kebijakan berkelanjutan. Saat menyusun Perda Pengelolaan Sampah, tim drafting melakukan analisis lapangan dan konsultasi publik secara luas. Hasilnya, regulasi tersebut mampu mendorong partisipasi masyarakat dan menurunkan volume sampah hingga 20% dalam dua tahun.
Kejelasan definisi seperti “bank sampah”, “pengelolaan mandiri”, dan “daur ulang” dalam pasal-pasal Perda menjadi kunci keberhasilan karena tidak menimbulkan tafsir ganda.
2. Provinsi Jawa Barat – Perda Perlindungan UMKM
Perda ini dirancang dengan teknik harmonisasi antara peraturan daerah dan kebijakan nasional. Tim legislative drafting memastikan setiap pasal tidak bertentangan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Hasilnya, kebijakan tersebut tidak hanya lolos evaluasi pusat, tetapi juga memperkuat daya saing UMKM melalui program bantuan hukum dan insentif pajak daerah.
3. Kabupaten Banyuwangi – Perda Inovasi Daerah
Kabupaten Banyuwangi mengembangkan Perda Inovasi Daerah dengan pendekatan evidence-based drafting. Tim penyusun menggunakan hasil penelitian akademik dan benchmarking dengan kota lain. Hasilnya, Perda ini memperkuat ekosistem inovasi dan diakui KemenPAN-RB sebagai salah satu praktik terbaik tata kelola daerah.
Dari ketiga studi kasus tersebut, benang merahnya jelas: legislative drafting yang sistematis dan partisipatif meningkatkan kualitas regulasi serta efektivitas kebijakan publik di daerah.
Strategi Peningkatan Kapasitas SDM Penyusun Perda
Kualitas regulasi daerah sangat bergantung pada kompetensi tim penyusun dan perancang peraturan. Banyak daerah masih menghadapi keterbatasan SDM yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang teknik legislative drafting.
Beberapa strategi penguatan kapasitas dapat dilakukan agar tim penyusun lebih profesional dan produktif:
1. Pelatihan dan Sertifikasi Legislative Drafting
Pemerintah daerah perlu secara rutin mengirimkan pejabat perancang dan staf hukum mengikuti pelatihan legislative drafting yang terstruktur. Program pelatihan ideal mencakup materi seperti teknik perumusan norma, analisis kebijakan hukum, serta simulasi penyusunan pasal.
Lembaga seperti Kementerian Hukum dan HAM (BPHN), universitas, atau lembaga pelatihan hukum profesional sering menawarkan program semacam ini.
2. Kolaborasi dengan Akademisi dan Praktisi
Penyusunan Perda sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh biro hukum, tetapi juga melibatkan akademisi, peneliti, dan praktisi hukum. Kolaborasi ini memperkaya naskah dengan dasar ilmiah yang kuat sekaligus relevan dengan realitas sosial di lapangan.
3. Penerapan Uji Publik dan Konsultasi Terbuka
Uji publik memungkinkan masyarakat memberikan masukan terhadap draft perda sebelum disahkan. Proses ini membantu mendeteksi potensi celah hukum, konflik kepentingan, atau ketidaksesuaian dengan nilai lokal. Selain meningkatkan kualitas, uji publik juga memperkuat legitimasi sosial terhadap kebijakan yang dihasilkan.
4. Pemanfaatan Teknologi Digital
Transformasi digital membuka peluang baru dalam penyusunan regulasi. Banyak pemerintah daerah kini menggunakan platform e-drafting untuk kolaborasi lintas instansi. Aplikasi ini mempercepat proses revisi, menyimpan jejak perubahan, dan memastikan konsistensi terminologi.
Selain itu, sistem e-harmonisasi dari Kemenkumham juga membantu daerah memastikan keselarasan dengan peraturan pusat secara otomatis.
5. Evaluasi dan Pembelajaran Berkelanjutan
Setiap Perda perlu dievaluasi secara berkala. Hasil evaluasi menjadi dasar perbaikan dalam penyusunan regulasi berikutnya. Evaluasi ini juga dapat menjadi alat ukur efektivitas legislative drafting, apakah peraturan benar-benar menyelesaikan masalah atau justru menimbulkan beban administratif baru.
Dengan strategi ini, SDM daerah akan memiliki kompetensi yang memadai untuk menyusun regulasi yang kuat, implementatif, dan bebas dari potensi pembatalan.
Legislative Drafting Memperkuat Otonomi Daerah
Kualitas otonomi daerah tidak hanya diukur dari jumlah kebijakan yang dihasilkan, tetapi dari mutu dan efektivitas peraturan yang diterapkan. Legislative drafting menjadi fondasi utama dalam memastikan bahwa Perda tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga berdampak positif bagi masyarakat.
Ketika penyusun Perda memahami prinsip-prinsip legislative drafting—mulai dari kejelasan rumusan, keselarasan hukum, hingga keterlibatan publik—maka potensi kegagalan regulasi bisa ditekan. Sebaliknya, daerah yang abai terhadap teknik drafting berisiko menghasilkan aturan yang mudah digugat, tumpang tindih, atau tidak realistis diterapkan.
Investasi pada kapasitas SDM legislative drafting bukan sekadar kegiatan administratif, tetapi strategi jangka panjang untuk memperkuat otonomi daerah. Daerah yang memiliki regulasi berkualitas akan lebih siap menghadapi tantangan pembangunan dan mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, efektif, dan adaptif terhadap perubahan.
Dengan begitu, legislative drafting bukan hanya persoalan teknis hukum—melainkan instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang kuat, transparan, dan dipercaya masyarakat.
Ingin memperkuat kualitas produk hukum daerah? Pelajari metode penyusunan regulasi yang efektif lewat pelatihan Legislative Drafting. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
- Kementerian Dalam Negeri RI. (2023). Laporan Evaluasi Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
- Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). (2022). Pedoman Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
- Kusumaatmadja, M. (2019). Hukum dan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar dalam Pembentukan Hukum Nasional. Bandung: Alumni.
- OECD. (2021). Regulatory Policy Outlook: Improving Regulatory Quality in Subnational Governments.
