Bentuk kolaborasi ideal

Membangun Regulasi Unggul Lewat Kerja Sama Akademisi dan Pemerintah

Bentuk kolaborasi ideal

Banyak regulasi di Indonesia menghadapi tantangan sejak tahap implementasi karena tidak memiliki dasar akademik yang kuat. Aturan yang disusun tanpa riset mendalam sering kali bersifat reaktif, tumpang tindih dengan regulasi lain, bahkan tidak relevan dengan kondisi sosial-ekonomi terkini. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya menjadi solusi justru menciptakan persoalan baru.

Di sinilah legislative drafting proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang sistematis dan berbasis analisis memegang peran vital. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan membutuhkan dukungan akademisi agar proses perumusan regulasi tidak sekadar memenuhi kebutuhan administratif, melainkan juga memiliki pijakan ilmiah dan logika hukum yang solid.

Kelemahan regulasi tanpa dukungan akademik bisa terlihat dari tiga aspek utama:

  1. Ketidakjelasan norma hukum, yang menyebabkan multitafsir di lapangan.
  2. Ketidaksesuaian dengan kebutuhan masyarakat, karena tidak didasarkan pada kajian empiris.
  3. Lemahnya daya tahan regulasi, akibat tidak melalui uji akademik dan harmonisasi menyeluruh.

Oleh karena itu, kolaborasi antara akademisi dan pemerintah menjadi sangat strategis. Akademisi memiliki kemampuan analitis dan metodologis untuk memberikan basis rasional dalam penyusunan regulasi, sementara pemerintah memiliki pengalaman praktis dan konteks kebijakan yang kuat. Jika kedua pihak bersinergi, hasilnya adalah regulasi yang aplikatif sekaligus berbobot ilmiah.

Bentuk Kolaborasi Ideal

Kolaborasi antara akademisi dan pemerintah dalam legislative drafting tidak bisa sekadar formalitas. Sinergi ini harus dibangun secara terstruktur dengan pembagian peran yang jelas, mekanisme kerja yang terbuka, serta komunikasi yang berkesinambungan. Berikut beberapa bentuk kolaborasi ideal yang dapat diterapkan:

1. Keterlibatan Akademisi Sejak Tahap Awal Perencanaan

Banyak proses penyusunan regulasi baru melibatkan akademisi hanya pada tahap naskah akademik atau setelah rancangan undang-undang (RUU) disusun. Padahal, peran akademisi seharusnya dimulai sejak tahap identifikasi masalah dan perumusan tujuan regulasi.

Akademisi dapat membantu merumuskan:

  • Analisis akar masalah kebijakan publik.

  • Alternatif kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy).

  • Dampak sosial, ekonomi, dan hukum dari regulasi yang akan disusun.

Melibatkan akademisi sejak awal membantu pemerintah menghindari regulasi yang bersifat reaktif dan memperkuat argumentasi kebijakan di kemudian hari.

2. Penyusunan Bersama Naskah Akademik dan Rancangan Regulasi

Tahap penyusunan naskah akademik adalah ruang paling strategis untuk kolaborasi nyata. Akademisi berperan mengembangkan landasan teoritis, data empiris, serta analisis komparatif antarnegara. Pemerintah di sisi lain dapat memastikan rekomendasi yang disusun relevan dengan kerangka hukum nasional dan kondisi sosial.

Proses co-authoring antara kedua pihak juga meningkatkan rasa kepemilikan bersama terhadap hasil akhir. Regulasi yang dihasilkan bukan hanya hasil kerja birokrasi, tetapi hasil kolaborasi lintas pengetahuan.

3. Pembentukan Forum Tetap atau Pusat Kajian Bersama

Agar kolaborasi tidak bersifat ad hoc, dibutuhkan wadah permanen. Misalnya, Pusat Kajian Legislative Drafting dan Reformasi Regulasi yang dikelola bersama universitas dan lembaga pemerintah. Forum ini dapat:

  • Melakukan riset kebijakan berkala.

  • Menyelenggarakan pelatihan legislative drafting.

  • Menjadi rujukan pemerintah daerah atau kementerian/lembaga dalam perumusan regulasi.

Dengan adanya forum semacam ini, kolaborasi tidak berhenti pada satu proyek, tetapi berkembang menjadi ekosistem penguatan kualitas regulasi nasional.

4. Kolaborasi dalam Harmonisasi dan Evaluasi Regulasi

Setelah regulasi diterbitkan, peran akademisi tidak berhenti. Pemerintah dapat menggandeng akademisi dalam proses evaluasi pasca-implementasi (post-legislative scrutiny). Evaluasi ini mencakup:

  • Apakah regulasi telah mencapai tujuannya?

  • Apakah ada dampak sosial-ekonomi yang tidak diantisipasi?

  • Bagaimana efektivitas pelaksanaannya di lapangan?

Akademisi dapat memberikan rekomendasi berbasis data untuk revisi atau penyempurnaan regulasi, sehingga peraturan perundang-undangan tetap relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman.

5. Pelibatan Mahasiswa dan Peneliti Muda

Sebagai bentuk regenerasi SDM hukum, kolaborasi juga bisa melibatkan mahasiswa hukum dan peneliti muda dalam proyek drafting nyata. Pemerintah dan akademisi dapat membuka ruang magang, riset terapan, atau program studi independen yang berorientasi pada perancangan regulasi.

Inisiatif ini tidak hanya menciptakan transfer pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan minat dan kompetensi calon perancang peraturan (drafter) yang memahami kebutuhan kebijakan publik secara komprehensif.

Contoh Sukses Kerja Sama Akademisi-Pemerintah

Beberapa inisiatif di Indonesia maupun di luar negeri menunjukkan bahwa sinergi antara akademisi dan pemerintah dapat menghasilkan regulasi yang lebih baik, realistis, dan diterima publik.

1. Program Reformasi Regulasi Nasional

Di Indonesia, kolaborasi antara Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dengan berbagai universitas telah menghasilkan banyak naskah akademik berkualitas. Beberapa fakultas hukum seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga secara aktif terlibat dalam penyusunan RUU penting, seperti RUU Administrasi Pemerintahan dan revisi Undang-Undang Cipta Kerja.

Hasilnya terlihat pada peningkatan kualitas argumentasi akademik dan konsistensi norma hukum. Setiap RUU kini disertai naskah akademik yang lebih transparan dan dapat diakses publik, sehingga memperkuat legitimasi kebijakan.

2. Kolaborasi Internasional dalam Drafting

Negara seperti Australia dan Inggris memiliki tradisi panjang dalam mengintegrasikan akademisi ke dalam lembaga pembentuk undang-undang. Di Inggris, Office of Parliamentary Counsel sering bekerja sama dengan fakultas hukum universitas ternama dalam penyusunan peraturan baru.

Model ini memungkinkan pemerintah mendapatkan masukan akademik yang tajam, sementara universitas memiliki kesempatan menyalurkan penelitian mereka untuk mendukung kebijakan nyata.

3. Kolaborasi Pemerintah Daerah dan Kampus Lokal

Beberapa pemerintah daerah di Indonesia juga mulai menyadari pentingnya kerja sama dengan akademisi. Contohnya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Biro Hukum melakukan kerja sama dengan universitas untuk mengkaji dan menyusun Peraturan Daerah (Perda) tematik seperti inovasi daerah, ekonomi kreatif, dan ketahanan pangan.

Kerja sama ini meningkatkan kualitas regulasi daerah dan mempercepat proses harmonisasi dengan kebijakan pusat.

4. Forum Akademik untuk Evaluasi Regulasi

Selain drafting awal, akademisi juga berperan dalam evaluasi kebijakan. Program Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dijalankan oleh beberapa kementerian melibatkan dosen dan peneliti hukum publik untuk menilai efektivitas peraturan yang sudah berlaku.

Evaluasi berbasis akademik ini membantu pemerintah merevisi regulasi yang tidak relevan, menutup celah hukum, serta menyederhanakan peraturan yang tumpang tindih.

Sinergi Pengetahuan dan Kebijakan Menciptakan Regulasi Unggul

Regulasi yang baik tidak lahir dari satu sumber saja. Pemerintah memiliki kekuatan dalam memahami kebutuhan masyarakat dan kebijakan publik, sementara akademisi memiliki kekuatan dalam riset, analisis, dan logika hukum. Ketika keduanya bekerja sama secara strategis, hasilnya adalah regulasi unggul yang efektif, jelas, dan berkelanjutan.

Kolaborasi akademisi–pemerintah dalam legislative drafting tidak sekadar meningkatkan kualitas teks hukum, tetapi juga memperkuat proses demokrasi dan transparansi regulatif. Regulasi yang disusun berdasarkan bukti ilmiah dan partisipasi publik akan lebih diterima dan lebih mudah diimplementasikan.

Bagi lembaga pemerintah, menjalin kerja sama dengan kampus bukan hanya pilihan, tetapi strategi investasi jangka panjang dalam reformasi regulasi. Bagi akademisi, keterlibatan dalam penyusunan regulasi bukan hanya kontribusi keilmuan, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial dalam membangun sistem hukum yang lebih baik.

Tingkatkan kapasitas tim Anda dalam penyusunan regulasi modern melalui Pelatihan Legislative Drafting Profesional. Dapatkan panduan praktis, studi kasus terkini, dan teknik drafting berbasis bukti. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.

Referensi

  • Kementerian Hukum dan HAM RI. (2023). Pedoman Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

  • OECD. (2020). Better Regulation Practices across the European Union.

  • Universitas Gadjah Mada. (2022). Laporan Kolaborasi Akademik–Pemerintah dalam Reformasi Regulasi Daerah.

  • World Bank. (2021). Policy, Research, and Regulation: Strengthening Governance through Collaboration.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page