Prinsip transparansi dalam proses penyusunan

Langkah Strategis Membangun Kepercayaan Publik Lewat Kualitas Legislative Drafting

Prinsip transparansi dalam proses penyusunan

Kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak hanya dibangun lewat janji dan program, tetapi juga melalui regulasi yang jelas, adil, dan mudah dipahami. Masyarakat menilai keseriusan pemerintah dari seberapa konsisten aturan dijalankan serta seberapa mudah aturan itu dipahami tanpa menimbulkan tafsir ganda.

Namun dalam praktiknya, banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia masih menimbulkan kebingungan. Kalimat yang rumit, istilah teknis berlebihan, serta tumpang tindih antaraturan sering kali membuat publik merasa jauh dari hukum yang seharusnya melindungi mereka.

Masalah ini sebenarnya bisa diminimalkan jika proses legislative drafting dilakukan dengan baik — yaitu penyusunan regulasi yang mengikuti prinsip kejelasan, keterbukaan, dan logika hukum yang konsisten. Legislative drafting bukan sekadar menulis pasal, tetapi seni dan ilmu untuk merumuskan norma hukum yang komunikatif, transparan, dan berkeadilan.

Kejelasan dalam regulasi menciptakan kepercayaan publik karena masyarakat merasa:

  1. Aturan dibuat secara jujur dan terbuka, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.

  2. Hak dan kewajiban mereka terdefinisi dengan jelas, sehingga tidak mudah disalahgunakan.

  3. Pemerintah dianggap kompeten dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum.

Dengan kata lain, regulasi yang baik adalah fondasi kepercayaan publik. Sebaliknya, regulasi yang lemah, multitafsir, atau tidak transparan akan menurunkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat.

Prinsip Transparansi dalam Proses Penyusunan

Transparansi adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap regulasi. Tanpa keterbukaan, publik cenderung menganggap proses legislasi sebagai agenda tertutup yang dikendalikan oleh segelintir pihak.

Proses legislative drafting yang baik selalu menekankan tiga aspek transparansi: proses, substansi, dan partisipasi.

1. Transparansi Proses: Regulasi Harus Bisa Dipantau Publik

Dalam banyak kasus, masyarakat baru mengetahui isi peraturan ketika sudah disahkan. Padahal, proses penyusunan regulasi seharusnya terbuka sejak tahap perencanaan. Publik berhak tahu:

  • Mengapa aturan tersebut diperlukan,

  • Siapa yang menyusunnya,

  • Dan bagaimana prosedur pembahasan dilakukan.

Beberapa negara telah menerapkan platform daring untuk mempublikasikan setiap draf regulasi dan membuka ruang komentar publik. Di Indonesia, inisiatif seperti Portal JDIH (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum) mulai memperkuat aspek transparansi. Namun ke depan, diperlukan mekanisme real-time agar publik bisa ikut memantau perkembangan rancangan undang-undang (RUU) sejak awal.

Ketika publik melihat bahwa proses legislasi dilakukan secara terbuka, tingkat kepercayaan meningkat secara alami. Mereka merasa tidak disingkirkan dari proses pembuatan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka.

2. Transparansi Substansi: Bahasa Regulasi Harus Sederhana dan Konsisten

Bahasa hukum sering dianggap kaku dan rumit, padahal prinsip utama legislative drafting modern justru menekankan bahasa yang jelas, lugas, dan mudah dipahami.

Menurut OECD (2020), regulasi yang efektif adalah regulasi yang dapat dimengerti oleh masyarakat tanpa memerlukan interpretasi hukum yang kompleks. Artinya, setiap pasal harus memiliki struktur logis, definisi yang konsisten, dan tidak menggunakan istilah yang multitafsir.

Contohnya, istilah seperti “dapat”, “wajib”, dan “harus” memiliki konsekuensi hukum berbeda. Kesalahan kecil dalam pemilihan kata dapat mengubah arah penegakan hukum secara signifikan. Oleh karena itu, penyusun regulasi harus memiliki kompetensi kebahasaan dan logika hukum yang kuat.

Dengan bahasa yang jelas dan transparan, publik tidak merasa terjebak oleh aturan yang sulit dimengerti. Mereka akan melihat regulasi sebagai instrumen perlindungan, bukan ancaman.

3. Transparansi Partisipasi: Melibatkan Publik dan Akademisi

Regulasi yang disusun tanpa mendengar suara masyarakat cenderung lemah dalam legitimasi. Proses public hearing atau konsultasi publik menjadi bukti bahwa pemerintah menghargai masukan dari berbagai pihak.

Keterlibatan publik dalam drafting bisa dilakukan melalui:

  • Forum konsultasi daring,

  • Diskusi lintas sektor antara pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat,

  • Atau survei terbuka untuk mengukur dampak sosial suatu aturan.

Prinsip partisipatif ini terbukti meningkatkan kualitas dan akseptabilitas regulasi. Misalnya, dalam penyusunan RUU Perlindungan Data Pribadi, keterlibatan akademisi dan komunitas digital membuat substansinya lebih adaptif dengan kondisi lapangan.

Transparansi bukan sekadar etika, tapi juga strategi komunikasi publik. Saat masyarakat merasa didengarkan, kepercayaan tumbuh lebih cepat daripada kampanye politik apa pun.

Dampak Regulasi yang Adil dan Mudah Dipahami

Keadilan dan kejelasan adalah dua sisi mata uang dalam legislative drafting. Regulasi yang adil tanpa kejelasan bisa menimbulkan salah tafsir, sementara aturan yang jelas tapi tidak adil justru memicu ketidakpuasan publik.

1. Keadilan Prosedural Meningkatkan Kredibilitas Pemerintah

Keadilan prosedural berarti setiap proses legislasi dilakukan secara transparan, rasional, dan terbuka terhadap kritik. Pemerintah yang memperlakukan semua pihak secara setara akan dianggap lebih kredibel. Sebaliknya, ketika publik melihat bahwa peraturan disusun dengan tergesa-gesa atau hanya menguntungkan kelompok tertentu, mereka akan kehilangan kepercayaan.

Contoh nyata bisa dilihat pada beberapa regulasi ekonomi yang dianggap berpihak pada segelintir kepentingan. Reaksi negatif masyarakat bukan hanya karena isi aturannya, tetapi karena proses penyusunannya dianggap tidak adil.

2. Kejelasan Regulasi Meningkatkan Kepatuhan Hukum

Masyarakat akan lebih patuh terhadap aturan yang mudah dipahami dan terasa masuk akal. Sebuah survei oleh World Justice Project (2021) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan hukum meningkat signifikan ketika publik merasa peraturan disusun dengan bahasa sederhana dan tujuan yang jelas.

Sebaliknya, aturan yang terlalu teknis, ambigu, atau sulit dimengerti justru membuat masyarakat enggan mematuhi karena takut salah langkah. Dengan legislative drafting yang baik, pemerintah dapat menurunkan risiko kesalahpahaman hukum sekaligus meningkatkan budaya kepatuhan.

3. Regulasi yang Baik Menumbuhkan Rasa Kepemilikan Publik

Ketika masyarakat merasa dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi, mereka lebih cenderung merasa memiliki aturan tersebut. Rasa kepemilikan ini memperkuat social trust terhadap pemerintah.

Regulasi yang baik tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tetapi juga membangun rasa tanggung jawab bersama untuk menegakkannya. Dengan demikian, kepercayaan publik tumbuh dari hubungan dua arah: pemerintah yang terbuka dan masyarakat yang terlibat.

4. Konsistensi Antaraturan Menghindarkan Kebingungan Hukum

Salah satu penyebab menurunnya kepercayaan publik adalah tumpang tindih antarregulasi. Misalnya, aturan pusat dan daerah yang saling bertentangan, atau regulasi baru yang justru menghapus hak-hak yang sudah ada.

Legislative drafting yang baik memastikan setiap peraturan baru selaras dengan hierarki peraturan yang lebih tinggi dan tidak menimbulkan konflik norma. Harmonisasi ini meningkatkan kepastian hukum dan mencegah masyarakat kehilangan arah.

Konsistensi juga mencerminkan profesionalisme pembuat kebijakan. Publik akan menilai bahwa pemerintah bekerja secara sistematis, bukan reaktif.

5. Regulasi yang Baik Menurunkan Biaya Sosial

Setiap kali regulasi gagal diterapkan karena bahasa yang tidak jelas atau isi yang multitafsir, masyarakat harus menanggung biayanya baik dalam bentuk waktu, ekonomi, maupun konflik sosial.

Sebaliknya, regulasi yang dirancang dengan prinsip keadilan dan keterbukaan mengurangi potensi sengketa dan mempercepat implementasi kebijakan. Dengan demikian, legislative drafting yang baik secara langsung berkontribusi pada efisiensi pemerintahan.

Regulasi Baik = Kepercayaan Publik Meningkat

Kepercayaan publik terhadap pemerintah lahir dari regulasi yang kredibel, transparan, dan mudah dipahami. Proses legislative drafting yang baik memastikan setiap pasal memiliki makna yang jelas, setiap kebijakan memiliki dasar ilmiah, dan setiap keputusan mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas.

Dalam konteks pemerintahan modern, legislative drafting bukan sekadar tugas birokrasi, tetapi instrumen strategis untuk membangun legitimasi dan stabilitas politik. Masyarakat yang percaya pada regulasi akan lebih patuh, lebih kolaboratif, dan lebih mendukung kebijakan pemerintah.

Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan tiga langkah utama:

  1. Menegakkan prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam setiap proses penyusunan regulasi.

  2. Meningkatkan kapasitas perancang peraturan (legal drafter dan ASN) melalui pelatihan intensif legislative drafting.

  3. Mendorong sinergi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil agar regulasi tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral di mata publik.

Regulasi yang baik adalah wajah dari pemerintahan yang dipercaya. Dan di balik setiap regulasi yang baik, selalu ada proses drafting yang matang, terbuka, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Regulasi yang jelas meningkatkan kepercayaan publik terhadap hukum. Pelajari cara penyusunan pasal yang efektif lewat pelatihan Legislative Drafting. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.

Referensi

  • Kementerian Hukum dan HAM RI. (2023). Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang Baik dan Efektif.

  • OECD. (2020). Regulatory Policy Outlook 2020.

  • World Justice Project. (2021). Rule of Law Index Report.

  • Transparency International Indonesia. (2022). Public Trust and Governance Study.

  • United Nations Development Programme (UNDP). (2020). Legislative Drafting for Public Trust.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page