Ini 7 Kesalahan Umum dalam Penyusunan Peraturan yang Sering Terjadi

Penyusunan peraturan perundang-undangan bukan hanya soal menulis pasal hukum. Setiap kata, tanda baca, dan struktur kalimat dalam regulasi memiliki konsekuensi hukum yang nyata. Dalam dunia legislative drafting, kesalahan sekecil apa pun dapat menimbulkan interpretasi berbeda, bahkan mengubah makna substansi secara keseluruhan.
Sebuah regulasi yang tampak baik di atas kertas bisa berujung pada persoalan besar di lapangan jika tidak dirancang dengan cermat. Misalnya, perbedaan satu kata seperti “dapat” dan “wajib” bisa mengubah sifat norma dari discretionary menjadi mandatory. Akibatnya, pelaksana di lapangan menghadapi kebingungan, sementara masyarakat kehilangan kepastian hukum.
Menurut World Bank (2023), lebih dari 40% regulasi di negara berkembang mengalami revisi dalam dua tahun pertama karena kesalahan redaksional atau ketidak konsistenan antar pasal. Hal ini menunjukkan bahwa drafting yang tidak akurat bukan hanya merugikan pemerintah, tetapi juga menghambat efektivitas kebijakan publik.
Dalam konteks tersebut, memahami kesalahan umum dalam legislative drafting menjadi langkah penting bagi siapa pun yang terlibat dalam penyusunan regulasi — baik di kementerian, lembaga, DPR, maupun biro hukum perusahaan. Artikel ini membahas tujuh kesalahan paling sering terjadi, cara menghindarinya, serta strategi meningkatkan ketelitian drafting melalui pelatihan profesional.
Kesalahan 1: Bahasa yang Terlalu Kompleks dan Tidak Efektif
Bahasa hukum memang memerlukan ketepatan, tetapi sering kali penyusun regulasi terjebak dalam gaya bahasa yang terlalu rumit. Kalimat panjang, struktur pasif berlapis, dan istilah teknis yang berlebihan membuat pasal sulit dipahami.
Misalnya, sebuah pasal berbunyi:
“Dalam hal pihak yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan ini, maka dapat dilakukan tindakan administratif oleh pejabat berwenang.”
Kalimat ini bisa disederhanakan menjadi:
“Pejabat berwenang dapat menjatuhkan sanksi administratif jika kewajiban dalam peraturan ini tidak dilaksanakan.”
Contoh di atas menunjukkan bahwa bahasa sederhana meningkatkan kejelasan tanpa mengurangi makna hukum. Prinsip plain language drafting kini menjadi standar di banyak negara, termasuk Inggris dan Australia, untuk memastikan regulasi mudah dibaca dan diterapkan.
Kesalahan 2: Inkonsistensi Istilah dan Definisi
Kesalahan klasik yang paling sering terjadi adalah penggunaan istilah berbeda untuk makna yang sama. Misalnya, dalam satu bagian digunakan istilah “pelaku usaha”, di bagian lain “pengusaha”, padahal merujuk pada entitas yang sama.
Inkonsistensi ini membuka peluang tafsir ganda. Di tingkat implementasi, pejabat atau hakim bisa menafsirkan pasal dengan arah berbeda.
Cara menghindarinya adalah dengan membuat glosarium atau daftar definisi di bagian Ketentuan Umum. Semua istilah kunci harus dijelaskan secara eksplisit di awal, lalu digunakan konsisten di seluruh teks.
Sebagai contoh, Pedoman Teknis Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Kemenkumham, 2022) menegaskan bahwa istilah harus digunakan “secara seragam, berulang, dan konsisten di seluruh bagian regulasi.”
Kesalahan 3: Struktur Pasal Tidak Logis
Kesalahan berikutnya adalah struktur pasal yang tidak mengikuti alur logis. Banyak regulasi menempatkan ketentuan sanksi sebelum substansi utama, atau menyebarkan ketentuan pelaksanaan di bagian yang tidak relevan.
Struktur yang kacau membuat pembaca kesulitan memahami hubungan antar pasal. Akibatnya, implementasi regulasi menjadi tidak konsisten.
Struktur ideal dalam legislative drafting umumnya terdiri dari:
- Ketentuan Umum (definisi, asas, tujuan)
- Ketentuan Pokok/Substansi
- Ketentuan Pelaksanaan
- Ketentuan Sanksi
- Ketentuan Peralihan dan Penutup
Dengan struktur logis seperti ini, pembaca dapat menelusuri maksud setiap pasal dengan mudah. Penyusun regulasi profesional selalu memastikan alur norma mengikuti urutan sebab-akibat dari prinsip ke implementasi, bukan sebaliknya.
Kesalahan 4: Penggunaan Kata Multitafsir
Bahasa hukum menuntut kepastian. Namun dalam praktik, masih banyak regulasi menggunakan kata yang tidak memiliki ukuran jelas seperti “segera”, “layak”, “patut”, atau “memadai”. Kata-kata ini menimbulkan ruang tafsir luas yang bisa disalahgunakan.
Contohnya:
“Instansi wajib segera melakukan verifikasi.”
Kapan “segera”? Satu hari? Satu minggu? Tanpa batas waktu pasti, pelaksana bisa menunda tanpa dasar hukum.
Solusinya, gunakan parameter objektif:
“Instansi wajib melakukan verifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan diterima.”
Menurut Better Regulation Guidelines (European Commission, 2020), setiap ketentuan harus memiliki kejelasan waktu, pelaku, dan konsekuensi hukum agar dapat ditegakkan dengan adil.
Kesalahan 5: Tidak Melakukan Harmonisasi Antar Regulasi
Sering kali, rancangan peraturan baru disusun tanpa meninjau peraturan yang sudah ada. Akibatnya, muncul konflik norma dan tumpang tindih kewenangan antar lembaga.
Contohnya, dua peraturan berbeda bisa mengatur hal serupa dengan prosedur berbeda. Dalam situasi ini, pelaksana di lapangan kebingungan menentukan dasar hukum mana yang digunakan.
Proses harmonisasi regulasi penting dilakukan sebelum rancangan disahkan. Di Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan memiliki mekanisme harmonisasi yang memastikan setiap rancangan sejalan dengan hierarki dan sistem hukum nasional.
Praktik internasional pun sama. OECD (2021) menyebutkan bahwa regulatory coherence adalah kunci menjaga stabilitas hukum dan mencegah beban administrasi ganda bagi pelaku usaha.
Kesalahan 6: Kurangnya Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact Assessment)
Kesalahan berikutnya adalah menyusun peraturan tanpa menilai dampak implementasinya. Banyak regulasi yang baik secara substansi, tetapi sulit diterapkan karena tidak mempertimbangkan kemampuan lembaga pelaksana, biaya kepatuhan, atau kesiapan masyarakat.
Metode Regulatory Impact Assessment (RIA) membantu penyusun menilai efektivitas norma sebelum diundangkan. RIA menganalisis:
- Dampak ekonomi dan sosial
- Alternatif kebijakan yang lebih efisien
- Potensi hambatan administrasi
- Risiko hukum yang mungkin muncul
Negara-negara seperti Kanada dan Belanda mewajibkan setiap rancangan regulasi melewati tahap RIA untuk memastikan kebijakan yang diterbitkan feasible dan evidence-based.
Di Indonesia, praktik RIA mulai diterapkan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang strategis seperti UU Cipta Kerja dan UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan).
Kesalahan 7: Minim Partisipasi Publik dan Stakeholder
Kesalahan terakhir namun paling berdampak adalah kurangnya pelibatan pemangku kepentingan. Banyak peraturan dibuat tanpa konsultasi publik yang memadai, sehingga aturan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan. Regulasi yang disusun secara tertutup berisiko ditolak atau digugat karena dianggap tidak representatif.
Sebaliknya, regulasi yang melalui proses public hearing atau stakeholder consultation cenderung lebih efektif karena mengakomodasi perspektif pelaksana, akademisi, hingga masyarakat terdampak.
Prinsip partisipasi publik menjadi elemen penting dalam good regulatory governance. OECD (2021) menekankan bahwa keterlibatan publik sejak tahap drafting meningkatkan legitimasi dan kualitas hukum.
Cara Mencegah dan Memperbaiki Kesalahan
Setelah memahami tujuh kesalahan di atas, pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana cara mencegah dan memperbaikinya?
Berikut beberapa strategi yang digunakan oleh lembaga dan perancang regulasi profesional:
1. Gunakan Checklists Drafting
Sebelum rancangan diajukan, gunakan daftar periksa (checklist) untuk memverifikasi aspek bahasa, konsistensi, struktur, dan harmonisasi. Checklist sederhana bisa mencegah kesalahan dasar seperti istilah ganda atau kalimat multitafsir.
2. Terapkan Peer Review atau Uji Publik
Lakukan review oleh tim lain atau ahli eksternal. Perspektif baru sering mengungkap kekeliruan yang luput dari penyusun utama. Beberapa lembaga menggunakan metode mock review untuk menguji logika antar pasal.
3. Gunakan Software Drafting
Teknologi kini mendukung proses penyusunan regulasi melalui aplikasi seperti LegisPro, Drafting Assistant, atau sistem berbasis AI yang mampu mendeteksi inkonsistensi istilah dan kesalahan logika. Penggunaan alat ini mempercepat harmonisasi dan meningkatkan akurasi.
4. Lakukan Simulasi Implementasi
Sebelum regulasi disahkan, simulasikan pelaksanaannya di lapangan. Misalnya, bagaimana instansi akan menjalankan kewajiban pasal tertentu, atau bagaimana pelaku usaha harus mematuhi ketentuan baru.
Simulasi ini membantu menemukan celah norma sebelum regulasi diterbitkan.
5. Perkuat Kapasitas Penyusun
Kesalahan drafting sering kali terjadi bukan karena kurang niat, tetapi karena kurangnya pemahaman teknik hukum dan metodologi penulisan peraturan. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas menjadi investasi penting bagi biro hukum dan pembuat kebijakan.
Rekomendasi Pelatihan untuk Meningkatkan Akurasi Drafting
Untuk menghindari kesalahan yang sama di masa depan, lembaga dan profesional hukum perlu mengikuti pelatihan legislative drafting yang sistematis.
Pelatihan ini umumnya mencakup modul:
- Prinsip dasar pembentukan peraturan
- Teknik penulisan pasal yang efektif
- Harmonisasi dan analisis dampak regulasi
- Simulasi penyusunan RUU atau Perda
- Studi kasus kesalahan nyata dalam drafting
Program pelatihan seperti ini telah terbukti meningkatkan akurasi penyusunan regulasi hingga 60% menurut survei internal National School of Government UK (2022).
Bagi instansi pemerintah, pelatihan ini membantu memastikan setiap regulasi yang dihasilkan memenuhi prinsip clarity, consistency, and coherence.
Sementara bagi praktisi hukum atau akademisi, pelatihan legislative drafting memperkuat kredibilitas dan membuka peluang berkontribusi dalam reformasi regulasi nasional.
Beberapa lembaga di Indonesia yang menyediakan pelatihan terakreditasi antara lain:
- Kementerian Hukum dan HAM RI
- Lembaga Administrasi Negara (LAN)
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
- Universitas ternama dengan program Legal Drafting and Policy Reform
Pelatihan ini tidak hanya membahas teori, tetapi juga praktik langsung menyusun rancangan pasal, memeriksa struktur logis, dan menguji konsistensi antar ketentuan.
Kualitas Regulasi Ditentukan dari Ketelitian Penyusun
Kualitas regulasi tidak hanya bergantung pada niat baik pembuatnya, tetapi terutama pada ketelitian dalam proses penyusunan. Kesalahan kecil dalam legislative drafting dapat menimbulkan masalah besar mulai dari multitafsir, tumpang tindih, hingga konflik hukum di lapangan.
Dengan memahami tujuh kesalahan umum dan menerapkan teknik pencegahan yang sistematis, perancang regulasi dapat memastikan setiap pasal memiliki makna yang jelas, terukur, dan dapat dilaksanakan.
Profesionalisme dalam legislative drafting bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga cerminan integritas dan tanggung jawab moral terhadap publik. Karena itu, investasi pada pelatihan, kolaborasi lintas lembaga, serta penggunaan teknologi drafting modern menjadi kunci dalam membangun sistem hukum yang kuat dan konsisten.
Regulasi yang baik selalu dimulai dari penyusunan yang cermat, transparan, dan berbasis pengetahuan. Setiap penyusun peraturan memiliki peran strategis dalam memastikan hukum bekerja untuk masyarakat, bukan sebaliknya.
Hindari kesalahan fatal dalam penyusunan regulasi sejak awal karier Anda. Ikuti pelatihan Legislative Drafting untuk memahami praktik terbaik dari para profesional. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.
Referensi
- OECD (2021). Regulatory Policy Outlook 2021. Paris: OECD Publishing.
- European Commission (2020). Better Regulation Guidelines. Brussels: EU Secretariat.
- Kementerian Hukum dan HAM RI (2022). Pedoman Teknis Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
- World Bank (2023). Effective Lawmaking: From Drafting to Implementation. Washington, D.C.
- National School of Government UK (2022). Improving Drafting Accuracy Through Training.
- PSHK (2021). Laporan Analisis Kualitas Regulasi dan Konsistensi Norma di Indonesia.
