Panduan Profesional Membuat RUU yang Jelas, Terukur, dan Efektif

Penyusunan rancangan undang-undang (RUU) bukan sekadar soal menuliskan aturan hukum. Setiap kata, frasa, dan struktur kalimat membawa konsekuensi hukum yang luas. Kesalahan dalam pemilihan kata dapat menciptakan multitafsir, menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan, bahkan mengundang sengketa hukum.
Fenomena RUU yang multitafsir sering muncul karena kurangnya konsistensi terminologi, tidak jelasnya tujuan normatif, atau lemahnya struktur pasal. Akibatnya, implementasi menjadi sulit, aparat penegak hukum kebingungan, dan publik kehilangan kepercayaan terhadap regulasi.
Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), kualitas regulasi sangat dipengaruhi oleh clarity of drafting dan consistency in terminology. RUU yang baik harus tepat secara hukum, mudah dipahami oleh publik, dan tidak membuka ruang interpretasi ganda.
Oleh karena itu, memahami kiat menyusun RUU yang jelas dan tidak multitafsir menjadi keterampilan penting bagi siapa pun yang terlibat dalam legislative drafting — baik pejabat pemerintah, staf ahli DPR, akademisi hukum, maupun konsultan kebijakan publik.
Prinsip Kejelasan Rumusan dan Definisi Hukum
Kejelasan rumusan adalah jantung dari setiap RUU. Prinsip ini menekankan bahwa setiap pasal harus memiliki makna tunggal yang mudah ditelusuri secara logis dan gramatikal.
Beberapa prinsip kejelasan rumusan yang wajib diterapkan antara lain:
1. Gunakan Bahasa Hukum yang Sederhana dan Tepat
Bahasa hukum bukan berarti harus rumit. Justru, semakin sederhana dan lugas suatu rumusan, semakin kecil kemungkinan munculnya multitafsir.
Contohnya, frasa “pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” lebih jelas dibanding “setiap individu yang memiliki kepentingan terkait dapat bertindak sebagaimana mestinya menurut hukum yang berlaku.”
Kata-kata seperti “sebagaimana mestinya” atau “sesuai dengan kepatutan” sering kali menjadi sumber penafsiran ganda karena tidak memiliki tolok ukur pasti.
2. Gunakan Terminologi Konsisten
Konsistensi terminologi memastikan bahwa satu istilah hanya memiliki satu makna. Misalnya, jika istilah “pejabat berwenang” digunakan di awal RUU, jangan diganti menjadi “otoritas terkait” di pasal berikutnya.
Menurut Pedoman Umum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lampiran UU No. 13 Tahun 2022), setiap istilah kunci dalam RUU harus didefinisikan secara eksplisit dalam bagian “Ketentuan Umum”. Dengan demikian, ruang interpretasi dapat diminimalisasi.
3. Gunakan Struktur Kalimat yang Logis dan Tertata
Kalimat dalam pasal hukum harus mengikuti urutan logika hukum, bukan sekadar tata bahasa.
Umumnya, pola ideal rumusan pasal terdiri atas unsur:
- Subjek hukum (siapa)
- Perbuatan (apa yang dilakukan)
- Objek atau sasaran (terhadap apa atau siapa tindakan dilakukan)
- Kondisi atau pengecualian (jika ada)
Contoh kalimat efektif:
“Setiap pejabat publik wajib melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi setiap tahun.”
Struktur seperti ini meminimalkan ambiguitas.
Teknik Penyusunan Pasal dan Klausul
Menulis pasal hukum memerlukan teknik sistematis agar substansi norma tersampaikan tanpa distorsi makna. Penyusunan pasal yang buruk dapat menyebabkan konflik antar ketentuan atau ketidaksesuaian dengan hierarki peraturan.
Berikut beberapa teknik penyusunan yang direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham dan UNDP Legislative Drafting Guidelines:
1. Gunakan Format Pasal Bertingkat
Format bertingkat membantu pembaca memahami hubungan antar norma.
Contohnya:
Pasal 5
(1) Setiap warga negara berhak memperoleh perlindungan hukum.
(2) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
- hak atas pembelaan diri;
- hak untuk didengar di muka pengadilan; dan
- hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.
Struktur seperti ini menjaga keteraturan dan memudahkan pembacaan.
2. Hindari Kalimat Negatif Ganda
Contoh buruk:
“Setiap warga negara tidak dapat tidak menaati ketentuan ini.”
Kalimat seperti itu bisa menimbulkan kebingungan. Lebih baik ditulis:
“Setiap warga negara wajib menaati ketentuan ini.”
3. Gunakan Frasa Baku dalam Klausul Hukum
Frasa baku seperti “wajib”, “berhak”, “dapat”, dan “dilarang” harus digunakan secara konsisten sesuai dengan kekuatan norma hukum:
- “Wajib” → norma perintah (imperatif)
- “Berhak” → norma pemberian hak
- “Dapat” → norma fakultatif (pilihan)
- “Dilarang” → norma larangan (prohibitif)
Kesalahan memilih kata kerja modal dapat mengubah makna hukum secara drastis.
4. Gunakan Penomoran dan Struktur Sub-Pasal yang Sistematis
Penomoran sub-pasal membantu membedakan antara unsur utama dan tambahan, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang salah.
Gunakan sistem: ayat → huruf → angka, seperti:
(1), (2), (3) → a, b, c → 1), 2), 3).
5. Pastikan Keterkaitan Antar Pasal
RUU harus dibaca sebagai satu kesatuan yang utuh. Setiap pasal harus memiliki hubungan logis dengan pasal lainnya. Gunakan frasa penghubung seperti “sebagaimana dimaksud dalam Pasal …” untuk menjaga kesinambungan.
Contoh Redaksi yang Efektif
Salah satu cara terbaik untuk memahami penyusunan RUU yang jelas adalah dengan membandingkan contoh redaksi yang lemah dan redaksi yang kuat.
| Aspek | Redaksi Lemah | Redaksi Kuat |
| Ketepatan Makna | “Pemerintah daerah dapat mengatur pajak sesuai kebutuhan.” | “Pemerintah daerah menetapkan jenis, tarif, dan tata cara pemungutan pajak daerah sesuai dengan ketentuan undang-undang.” |
| Konsistensi Terminologi | “Pegawai negeri atau aparatur sipil negara wajib melapor.” | “Pegawai Aparatur Sipil Negara wajib melapor.” |
| Kejelasan Struktur Kalimat | “Setiap perusahaan tidak boleh tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosialnya.” | “Setiap perusahaan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” |
Contoh di atas menunjukkan bahwa penggunaan kata yang sederhana, terukur, dan konsisten berpengaruh langsung terhadap kejelasan regulasi.
Cara Mencegah dan Memperbaiki Kesalahan
Pencegahan kesalahan dalam drafting tidak hanya bergantung pada kemampuan bahasa, tetapi juga pada sistem kerja dan kolaborasi. Berikut pendekatan yang bisa diterapkan:
1. Gunakan Prosedur Review Berlapis
Setiap draft RUU sebaiknya melalui tiga tahap pemeriksaan:
- Substansi hukum: oleh ahli hukum substantif.
- Bahasa dan logika: oleh editor hukum atau linguist.
- Konsistensi regulatif: oleh perancang peraturan senior.
Tahapan ini penting untuk menutup celah multitafsir sejak awal.
2. Bangun Tim Interdisipliner
RUU modern mencakup berbagai aspek (teknologi, ekonomi, lingkungan, sosial). Maka, penyusun harus bekerja dengan tim lintas disiplin agar bahasa hukum tetap selaras dengan konteks teknis.
3. Gunakan Teknologi Pendukung Drafting
Berbagai tools digital kini dapat membantu meningkatkan ketelitian penyusunan, seperti:
- LexisNexis Draft Analyzer – Mendeteksi inkonsistensi terminologi.
- Quillbot Legal Edition – Membantu perbaikan gaya bahasa hukum.
- Grammarly Law Pro – Mendeteksi ambiguitas linguistik.
- Internal drafting software Kemenkumham – Untuk standarisasi format peraturan.
4. Pelatihan dan Pembaruan Kompetensi
Kemampuan legislative drafting perlu diperbarui secara berkala. Lembaga seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Universitas Indonesia, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) rutin mengadakan pelatihan perancang peraturan perundang-undangan.
Pelatihan ini tidak hanya mengasah kemampuan menulis pasal, tetapi juga mengajarkan logika hukum dan harmonisasi antar regulasi.
Rekomendasi Pelatihan untuk Meningkatkan Akurasi Drafting
Bagi penyusun RUU pemula atau profesional yang ingin memperdalam keahlian, berikut beberapa pelatihan dan sumber yang direkomendasikan:
- Pelatihan Legislative Drafting oleh BPHN
- Fokus: teknik penyusunan naskah akademik dan RUU.
- Durasi: 5-7 hari.
- Hasil: sertifikat perancang peraturan tingkat dasar.
- Workshop Harmonisasi Regulasi oleh PSHK
- Fokus: identifikasi tumpang tindih antar peraturan dan sinkronisasi kebijakan.
- Relevan untuk: pejabat pemerintah, staf DPR, dan akademisi hukum.
- Program Sertifikasi Legislative Drafting dari Universitas Indonesia
- Fokus: teori hukum, analisis dampak regulasi, dan penyusunan klausul.
- Cocok bagi praktisi yang ingin beralih menjadi perancang regulasi profesional.
- Kursus Online “Legal Writing & Legislative Drafting” oleh UNDP
Fokus: praktik internasional dalam drafting berbasis best practice global.
Pelatihan-pelatihan tersebut membantu peserta menguasai keterampilan berpikir sistematis, menulis dengan presisi, dan memahami hubungan antar norma hukum.
Kejelasan Bahasa, Kunci Keberhasilan Regulasi
Kualitas sebuah undang-undang tidak hanya ditentukan oleh niat baik pembuatnya, tetapi juga oleh kejernihan bahasanya. RUU yang jelas dan tidak multitafsir mencerminkan profesionalisme penyusunnya serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Untuk mencapainya, penyusun harus memahami:
- Prinsip kejelasan dan konsistensi istilah.
- Teknik penulisan pasal dan struktur hukum yang logis.
- Pentingnya uji publik dan review berlapis.
- Kebutuhan pembaruan kompetensi melalui pelatihan reguler.
Seperti dikatakan oleh Sir William Dale dalam bukunya Legislative Drafting: A New Approach, “Clarity in law is clarity in governance.”
Kejelasan regulasi bukan sekadar urusan teknis, melainkan fondasi bagi keadilan dan efektivitas pemerintahan.
Ingin menghasilkan rancangan undang-undang yang presisi dan bebas multitafsir? Pelajari teknik Legislative Drafting yang terbukti efektif di pelatihan kami. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.
Referensi
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- OECD (2018). Regulatory Policy Outlook 2018. Paris: OECD Publishing.
- UNDP (2021). Guidelines for Effective Legislative Drafting.
- BPHN Kemenkumham (2022). Modul Pelatihan Perancang Peraturan Perundang-undangan.
- Dale, W. (2011). Legislative Drafting: A New Approach. London: Butterworths.
- PSHK (2020). Manual Drafting Regulasi Efektif untuk Pemerintahan Modern.
