Peran Legislative Drafting Berkualitas dalam Keberhasilan Kebijakan Publik

Setiap kebijakan publik membutuhkan pijakan hukum yang jelas, adil, dan dapat diimplementasikan. Regulasi menjadi wadah yang menerjemahkan visi kebijakan menjadi tindakan nyata. Namun, sering kali kebijakan gagal di lapangan bukan karena ide yang lemah, melainkan karena penyusunan regulasi (legislative drafting) yang tidak tepat.
Dalam praktiknya, legislative drafting bukan sekadar menulis pasal. Ia merupakan seni dan ilmu dalam menyusun norma hukum yang logis, konsisten, dan mudah dipahami. Kesalahan kecil dalam redaksi atau struktur pasal bisa menimbulkan multitafsir, bahkan menimbulkan celah hukum yang berdampak luas bagi masyarakat.
Oleh karena itu, legislative drafting yang baik menjadi penentu keberhasilan sebuah kebijakan publik. Kualitas regulasi menentukan seberapa efektif kebijakan dapat dijalankan tanpa menimbulkan konflik, penolakan, atau kebingungan di lapangan.
Dampak Kesalahan dalam Penyusunan Peraturan
Banyak kebijakan publik yang gagal mencapai tujuannya karena regulasinya tidak disusun dengan cermat. Sebuah peraturan yang multitafsir dapat menimbulkan perbedaan penafsiran antar lembaga, pelaku usaha, maupun masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya memperkuat tata kelola justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Beberapa dampak umum dari kesalahan legislative drafting antara lain:
- Ambiguitas norma. Ketika rumusan pasal tidak jelas, maka muncul ruang interpretasi yang berbeda. Contohnya, istilah “segera” dalam pelaksanaan kewajiban hukum bisa bermakna satu hari, seminggu, atau bahkan satu bulan, tergantung penafsirnya.
- Inkonsistensi antar pasal. Pasal yang satu memerintahkan sesuatu, sementara pasal lain membatasi hal yang sama. Inkonsistensi seperti ini menimbulkan kontradiksi internal yang menyulitkan penegakan hukum.
- Celah hukum (loophole). Kesalahan dalam penyusunan struktur atau redaksi bisa menciptakan peluang bagi pihak tertentu untuk menghindari kewajiban hukum tanpa melanggar aturan secara eksplisit.
- Kesulitan implementasi. Regulasi yang tidak sinkron dengan aturan di atasnya atau dengan praktik administratif dapat menghambat pelaksanaan kebijakan di lapangan.
- Penurunan kepercayaan publik. Ketika masyarakat menemukan bahwa aturan yang dibuat justru menyulitkan atau membingungkan, kepercayaan terhadap pembuat kebijakan menurun.
Kesalahan seperti ini tidak jarang muncul dari proses drafting yang terburu-buru, kurang koordinasi lintas lembaga, atau minimnya pelatihan legislative drafting bagi penyusun regulasi.
Contoh Regulasi yang Gagal karena Drafting Buruk
Beberapa studi menunjukkan bahwa banyak kebijakan publik gagal bukan karena ide kebijakannya salah, melainkan karena drafting peraturan yang tidak presisi. Berikut beberapa contoh kasus yang bisa dijadikan pelajaran:
1. Kasus Regulasi Daerah yang Ditolak karena Bertentangan dengan Aturan Lebih Tinggi
Beberapa perda daerah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri karena substansinya bertentangan dengan peraturan di tingkat nasional. Masalah utamanya bukan niat daerah, tetapi kurangnya harmonisasi dan kesalahan dalam merujuk hierarki peraturan perundang-undangan.
Contoh, ketika suatu perda mengatur pungutan baru tanpa dasar hukum jelas, hal itu dianggap bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Kesalahan ini seharusnya dapat dihindari jika tahap analisis dan perumusan dilakukan dengan metodologi legislative drafting yang benar.
2. Kasus Peraturan Pajak Daerah yang Multitafsir
Beberapa regulasi perpajakan daerah menimbulkan konflik karena penggunaan istilah yang tidak baku. Kata “penghasilan” misalnya, diartikan berbeda antara pemerintah daerah dan pelaku usaha. Ketidakjelasan istilah ini memicu sengketa dan menghambat realisasi penerimaan pajak daerah.
3. Kasus Kebijakan Nasional yang Sulit Diterapkan karena Drafting Lemah
Pada tingkat nasional, ada kebijakan strategis yang gagal diimplementasikan karena regulasinya tidak menyertakan mekanisme transisi yang jelas. Akibatnya, instansi pelaksana bingung kapan aturan mulai berlaku dan bagaimana menyesuaikan dengan sistem lama.
Contoh ini menunjukkan bahwa drafting yang tidak memperhitungkan aspek administratif dan logistik dapat menggagalkan kebijakan yang sudah dirancang dengan baik.
4. Kasus Penggunaan Istilah yang Salah Kaprah
Dalam beberapa regulasi, istilah hukum dipinjam dari konteks berbeda tanpa penyesuaian makna. Akibatnya, tafsir hukum menjadi kabur. Misalnya, penggunaan istilah “izin” padahal substansinya bersifat “persetujuan”. Kekeliruan terminologi seperti ini dapat mengubah konsekuensi hukum secara signifikan.
Solusi melalui Pendekatan Drafting Profesional
Agar kebijakan publik dapat diterjemahkan dengan benar ke dalam regulasi, dibutuhkan pendekatan legislative drafting profesional. Pendekatan ini menekankan ketepatan logika hukum, kejelasan bahasa, dan konsistensi antar pasal.
Berikut langkah-langkah penting dalam pendekatan drafting profesional:
1. Perencanaan dan Analisis Awal
Tahap pertama adalah mengidentifikasi masalah dan kebutuhan regulasi. Penyusun harus memahami tujuan kebijakan secara menyeluruh, mengkaji dasar hukum yang ada, serta menilai dampak potensial dari regulasi baru.
Analisis ini menjadi dasar untuk memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak bertentangan dengan aturan lain dan memiliki relevansi hukum yang kuat.
2. Penyusunan Struktur Hukum yang Logis
Setiap peraturan harus memiliki alur logika yang jelas: mulai dari ketentuan umum, norma substantif, hingga ketentuan penutup. Struktur yang rapi memudahkan pembaca memahami maksud setiap pasal.
Penyusun perlu memastikan tidak ada pasal yang tumpang tindih atau saling meniadakan. Logika antar pasal harus berjalan konsisten dari awal hingga akhir.
3. Kejelasan Bahasa dan Ketepatan Terminologi
Bahasa hukum yang baik adalah bahasa yang tepat, konsisten, dan tidak multitafsir. Penggunaan istilah harus seragam di seluruh dokumen, dan setiap definisi kunci harus dijelaskan secara eksplisit di bagian awal peraturan.
Gunakan kalimat aktif dan struktur sederhana agar mudah dipahami tanpa kehilangan kekuatan hukum.
4. Uji Publik dan Konsultasi
Sebelum diundangkan, rancangan peraturan sebaiknya melalui proses uji publik. Masukan dari akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat dapat membantu menemukan celah atau ambiguitas yang mungkin luput dari penyusun.
Proses ini memperkuat legitimasi regulasi dan meningkatkan akseptabilitas publik terhadap kebijakan yang diatur.
5. Harmonisasi dan Sinkronisasi
Proses harmonisasi dilakukan agar regulasi baru sejalan dengan aturan di atasnya serta tidak menimbulkan konflik dengan peraturan lain. Sinkronisasi lintas sektor menjadi penting untuk menjaga konsistensi kebijakan antar lembaga pemerintah.
6. Pelatihan dan Penguatan Kapasitas Penyusun Regulasi
Salah satu kunci keberhasilan legislative drafting adalah kapasitas sumber daya manusia. Pelatihan teknis tentang metode drafting, logika hukum, dan penggunaan bahasa hukum yang tepat perlu dilakukan secara berkala, baik di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah.
Dengan pelatihan yang sistematis, penyusun akan lebih siap menghadapi kompleksitas regulasi modern.
Regulasi Kuat, Kebijakan pun Berhasil
Kebijakan publik hanya bisa berhasil jika memiliki dasar hukum yang kokoh. Legislative drafting yang baik memastikan kebijakan dapat diterjemahkan menjadi aturan yang jelas, konsisten, dan mudah dijalankan.
Kesalahan kecil dalam drafting bisa berakibat besar pada implementasi kebijakan, bahkan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sebaliknya, regulasi yang disusun dengan prinsip kejelasan, ketepatan logika, dan konsistensi dapat menjadi fondasi keberhasilan kebijakan publik.
Meningkatkan kualitas legislative drafting bukan hanya tugas para legal drafter, tetapi juga tanggung jawab kolektif pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi hukum. Pelatihan, kolaborasi lintas sektor, dan evaluasi reguler perlu terus diperkuat agar setiap kebijakan publik memiliki instrumen hukum yang solid.
Dengan regulasi yang kuat, kebijakan akan lebih efektif menjawab kebutuhan masyarakat dan menjaga kredibilitas penyelenggara negara. Pastikan kebijakan publik yang Anda susun memiliki dasar hukum yang kuat.
Ikuti pelatihan Legislative Drafting untuk memperdalam kemampuan analisis regulasi. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- Birkland, Thomas A. (2019). An Introduction to the Policy Process: Theories, Concepts, and Models of Public Policy Making. Routledge.
- Mahsun, M., & Riyanto, B. (2022). Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Hukum.
- OECD (2020). Regulatory Policy Outlook 2020: Strengthening the Governance of Regulation. OECD Publishing.
- World Bank (2021). Better Regulation for Better Results: Principles of Effective Legislative Drafting.
